Rabu, 16 November 2011

Kesenian Indramayu

Laisan, Sintren Indramayu

Pada tahun 1996, tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang benar-benar mengejutkan dunia kesenian di negeri maha artistik ini. Sintren atau di beberapa desa di Indramayu disebut juga sebagai laisan, sebuah seni tari yang telah pupus lebih dari 20 tahun bangkit dari kuburnya.
Solasi soliandana
Menyan putih ngundang Dewa
Ana dewa dening sukma
Widadari temurunna
sintren-laisanSalah satu lagu wajib sintren itu berkumandang kembali mengawali setiap pertunjukkan. Sedikit berbeda dengan periode sebelumnya, lagu-lagu bernuansa mantera itu tidak lagi beriring bumbung bambu, kuali tanah dan suara kecrek rangkaian tutup botol tetapi terdiri dari gitar, suling, gendang dan beberapa peralatan modern lainnya.
Sampai di sini, masih wajar bila ada yang menyebut sebagai kreasi yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Pangsa pasar mereka adalah anak-anak muda yang lebih suka dengan irama dang-dut, sehingga kesenian dilekukkan sedemikian rupa agar dapat diterima oleh mereka semua.
Mungkin itulah bentuk alternatif, sebuah kreasi yang sangat sulit diterima generasi tua tetapi menjadi daya tarik anak belia yang saat itu menjadi pasar yang diharapkan. Sintren mendapat pulasan modern sehingga dapat diterima komunitas yang saat itu mengagungkan bendera modern dan membuang habis cap kuno dari jiwa mereka.
Kebebasan berkreasi ternyata tidak sampai di situ, lambat-laun pakem yang seharusnya mengerem tidak pakem lagi. Kreatifiitas menjadi kebablasan. Akankah ini termasuk alternatif agar sintren tetap terus menembus pasar ?
Seperti sudah sama-sama dimaklumi, bahwa sintren terlahir dari jiwa-jiwa masyarakat yang ingin terbebas dari segala belenggu penjajahan. Pesan sintren yang bisu, menggambarkan kebiasaan masyarakat yang hanya bisa memendam keinginan untuk merdeka itu, karena selalu sadar akan mara bahaya yang akan menimpa apabila terdengar oleh penjajah.
Dalam setiap awal pertunjukkan sintren dengan mata tertutup dan tangan terikat kuat dengan saputangan ditutup kurungan bersama pakaian dan perhiasan. Setelah lagu-lagu magis dikumandangkan, ajaib, sintren masih dalam keadaan mata tertutup dan tangan terbanda telah mengenakan pakaian lengkap dengan asesoris dan tata rias kecantikan wajah.
Hanya makhluk dalam kurunganlah yang tahu ketika sintren bantuan siapapun mengenakan kacamata hitam yang disediakan ataupun melepas tangannya dari ikatan. Selanjutnya saputangan bukan lagi menjadi penghambat tetapi malah dijadikan alat untuk dilambai-lambaikan dalam tarian hampa sadar. Sebuah tarian kebebasan, bebas dari segala gangguan, sehingga apabila ada benda menyentuhnya (biasanya sarung yang di-sawer-kan penonton) akan membuat sintren tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Tidak ada yang dapat menyembuhkannya kecuali kepulan dupa dan secarik lirik :
Godong kilaras
Ditandur ning tengah alas
Paman bibi aja maras
Dalang lais njaluk waras






Kreatifitas anak muda seperti diceritakan terdahulu itu berani juga menembus pakem. Sintren atau dalang lais awalnya saja menggunakan aturan main, seterusnya disawer puluhan sarung sekalipun akan tetap lihai memainkan goyangannya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menari di alam sadar. Berarti telah jauh melenceng dari pakem yang digariskan.
Selain sakti terhadap barang lemparan, sintren modern pun tahan sentuhan. Penonton yang bebas menari-nari bersama sintren kadang berbuat tidak senonoh menyelipkan sejumlah uang. Dalang lais bukannya pingsan tetapi malah membalas dengan senyuman.
Saat itu sintren bukan hanya sempat melebihi populeritas tarling, sandiwara dan orkes dangdut yang bayarannya mahal tetapi juga menggilas video, film atapun hiburan alakadarnya (tape). Bayaran murah-meriah, bisa ditanggap kapan saja adalah salah satu keunggulannya.
Namun siapa nyana kalau kejayaan itu merupakan akhir dari reinkarnasi sintren. Pemerintahan saat itu, dengan mengatasnamakan ketertiban umum tidak jarang mengobrak-abrik atau membatalkan pertunjukkan yang akan berlangsung. Kalau sudah begitu, dalang lais dan nayaga hanya bisa meratapi nasib sedangkan penonton adu jotos untuk menebus ketidakpuasan. Hal terakhir ini akhirnya menjadi bumerang pertunjukkan sintren itu sendiri.
Keberadaan sintren secara tragis lenyap bersama kepudaran populeritas sesaat yang dinikmati. Sintren ditelan bumi tanpa sisa yang ditinggalkan kecuali gambaran di benak anak muda bahwa sintren adalah seperti yang mereka lakukan dan sama sekali berbeda dengan dongeng kakek nenek mereka yang telah renta dimakan usia.
Sintren mati tragis karena dalam kehidupannya yang kedua tiada pernah tahu sejarahnya sendiri.
http://indramayukampunghalamantercinta.blogspot.com/2011/17/sintren-Indramayu/16.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar