Rabu, 30 November 2011

Sejarah Kab.Indramayu


. Asal-usul Berdirinya Kabupaten Indramayu
Indramayu adalah salah satu Kabupaten yang terletak di Pesisir Utara Jawa Barat, yang didirikan oleh Raden Aria Wiralodra, putra Tumenggung Gagak Singalodra dari Bagelen Jawa Tengah. Raden Wiralodra mempunyai garis keturunan Majapahit dan pajajaran. Ketika ia sedang bertapa/bersemedi di kaki Gunung Sumbing, ia mendapat wangsit.
Ia diperintahkan untuk pergi ke arah matahari terbenam dan mencari lembah Sungai Cimanuk. Setelah berada di sana, Raden Wiralodra diperintahkan untuk berhenti dan menebang semak belukar untuk mendirikan sebuah tempat tinggal dan diperintahkan untuk menetap di sana. Menurut sang pemberi wangsit kelak tempat itu akan menjadi subur dan makmur serta tujuh turunan Raden Wiralodra akan memerintah di sana dan hidup bahagia.
Kemudian Raden Wiralodra berangkat untuk menjalankan wangsit tersebut. Ia pergi ditemani oleh Ki Tinggil. Setelah sampai di suatu tempat yang diperintahkan, yaitu di lembah Sungai Cimanuk, kemudian ia mengambil senjata yang dibawanya, yaitu Cakra Undaksana untuk menebang semak belukar untuk dijadikannya sebuah tempat tinggal, sesuai yang diperintahkan oleh sang pemberi wangsit.
Setelah Raden Wiralodra mampu mendirikan sebuah tempat tinggal, ia berjalan-jalan sejenak di tepi Sungai Cimanuk. Di tengah perjalanan, ia bertemu wanita yang sangat cantik. Wanita itu bernama Nyi Endang Darma. Raden Wiralodra jatuh hati pada Nyi Endang Darma.
Setelah itu tempat tinggal Raden Wiralodra tersebut berkembang menjadi luas dan diberi nama Darma Ayu oleh Raden Wirlodra yang diambil dari nama seorang wanita yang dikaguminya, karena kecantikan dan kesaktiannya, yaitu Nyi endang Darma, serta dapat diartikan kewajiban yang utama atau tugas suci.
Lembah Sungai Cimanuk yang diberi nama Darma Ayu yang kemudian berubah menjadi “Indramayu”, setelah terbebas dari kekuasaan Pajajaran pada tahun 1527, diproklamirkan berdirinya oleh Raden Wiralodra pada hari Jumat Kliwon tanggal 1 Muharram 934 H atau 1 Sura 1449 dan jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527, sekarang tanggal tersebut resmi ditetapkan sebagai hari jadi Indramayu.
Setelah 1527, daerah Indramayu terbagi dalam tiga propinsi meliputi:
Propinsi Singapura, meliputi sebelah timur sampai Sungai Kamal.
Propinsi Rajagaluh, meliputi daerah tengah sampai Jati Tujuh.
Propinsi Sumedang, meliputi bagian barat sampai Kandanghaur.
Tahun 1546 Indramayu menjadi bagian Kesultanan Cirebon. Tahun 1615 sebelah timur Sungai Cimanuk menjadi bagian Kesultanan Cirebon dan bagian baratnya termasuk dalam wilayah Kerajaan Mataram. Kemudian pada tahun 1681, mulai dikuasai Kompeni. Indramayu jatuh kedalam kekuasaan Kompeni Belanda seluruhnya seperti halnya dengan daerah-daerah lain, dijajah dan diambil hak-haknya secara paksa. Zaman pemerintahan Daendles (1806 – 1811) daerah sebelah barat Sungai Cimanuk dimasukkan dalam Prefektur Cirebon Utara. Pada masa ini berada dalam kekuasaan Kerajaan Demak.
4. Perkembangan Kabupaten Indramayu hingga Saat ini
Kabupaten Indramayu saat ini semakin makmur dan sejahtera, baik dalam bidang ekonomi, maupun sosial dan budaya. Indramayu dikenal sebagai lumbung padi, mengingat 58,27% dari luas wilayahnya 204.011 Ha merupakan areal persawahan, dikenal juga sebagai produsen ikan laut, karena dari seluruh produksi ikan laut Jawa Barat sepertiganya berasal dari Indramayu.
Selain dikenal sebagai penghasil buah mangga yang merupakan ciri khas Kabupaten Indramayu, Indramayu juga memiliki potensi wisata yang lengkap, baik wisata alam. Wisata ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan wisata rohani serta potensi seni dan budaya yang beraneka ragam misalnya Upacara Adat Ngarot, Nadran, Ngunjung, Tar;ing dan Genjring Akrobat.

C. Penutup
1
. Kesimpulan
Dengan kegigihan dan semangat Raden Wiralodra untuk mendirikan sebuah tempat tinggal di Lembah Sungai Cimanuk dan memerintahka di sana berdasarkan wangsit yang ia terima ketika bertapa/bersemedi di kaki Gunung Sumbing, akhirnya wilayah tersebut semakin luas dan makmur, wilayah tersebut sekarang bernama Indramayu.
2. Saran
Kita sebagai generasi penerus bangsa hendaknya harus mengetahui asal-usul daerah kita, supaya kita bisa membangun daerah kita sendiri menjadi lebih baik lagi dan menghargai para pendirinya.
Agar sejarah, peninggalan sejarah dan kebudayaan yang ada di daerah kita tetap lestari, kita harus menjaga dan merawatnya dengan baik.
Daftar Pustaka
http:www,jabar.go.id
http:www.indramayu.com
Abdullah, Taufik, Sejarah Kota-kota Lama Di Jawa Barat, 2000. Alqaprint: Jakarta
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 1984, Balai Pustaka: Jakarta
Sumber :
Makalah disampaikan pada Final Lomba “Penulisan dan Diskusi Kesejarahan”diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Bersamaan dengan Pekan Budaya Seni dan Film yang dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2009 di Keraton Kasepuhan Cirebon

Rabu, 16 November 2011

Kesenian Indramayu

Laisan, Sintren Indramayu

Pada tahun 1996, tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang benar-benar mengejutkan dunia kesenian di negeri maha artistik ini. Sintren atau di beberapa desa di Indramayu disebut juga sebagai laisan, sebuah seni tari yang telah pupus lebih dari 20 tahun bangkit dari kuburnya.
Solasi soliandana
Menyan putih ngundang Dewa
Ana dewa dening sukma
Widadari temurunna
sintren-laisanSalah satu lagu wajib sintren itu berkumandang kembali mengawali setiap pertunjukkan. Sedikit berbeda dengan periode sebelumnya, lagu-lagu bernuansa mantera itu tidak lagi beriring bumbung bambu, kuali tanah dan suara kecrek rangkaian tutup botol tetapi terdiri dari gitar, suling, gendang dan beberapa peralatan modern lainnya.
Sampai di sini, masih wajar bila ada yang menyebut sebagai kreasi yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Pangsa pasar mereka adalah anak-anak muda yang lebih suka dengan irama dang-dut, sehingga kesenian dilekukkan sedemikian rupa agar dapat diterima oleh mereka semua.
Mungkin itulah bentuk alternatif, sebuah kreasi yang sangat sulit diterima generasi tua tetapi menjadi daya tarik anak belia yang saat itu menjadi pasar yang diharapkan. Sintren mendapat pulasan modern sehingga dapat diterima komunitas yang saat itu mengagungkan bendera modern dan membuang habis cap kuno dari jiwa mereka.
Kebebasan berkreasi ternyata tidak sampai di situ, lambat-laun pakem yang seharusnya mengerem tidak pakem lagi. Kreatifiitas menjadi kebablasan. Akankah ini termasuk alternatif agar sintren tetap terus menembus pasar ?
Seperti sudah sama-sama dimaklumi, bahwa sintren terlahir dari jiwa-jiwa masyarakat yang ingin terbebas dari segala belenggu penjajahan. Pesan sintren yang bisu, menggambarkan kebiasaan masyarakat yang hanya bisa memendam keinginan untuk merdeka itu, karena selalu sadar akan mara bahaya yang akan menimpa apabila terdengar oleh penjajah.
Dalam setiap awal pertunjukkan sintren dengan mata tertutup dan tangan terikat kuat dengan saputangan ditutup kurungan bersama pakaian dan perhiasan. Setelah lagu-lagu magis dikumandangkan, ajaib, sintren masih dalam keadaan mata tertutup dan tangan terbanda telah mengenakan pakaian lengkap dengan asesoris dan tata rias kecantikan wajah.
Hanya makhluk dalam kurunganlah yang tahu ketika sintren bantuan siapapun mengenakan kacamata hitam yang disediakan ataupun melepas tangannya dari ikatan. Selanjutnya saputangan bukan lagi menjadi penghambat tetapi malah dijadikan alat untuk dilambai-lambaikan dalam tarian hampa sadar. Sebuah tarian kebebasan, bebas dari segala gangguan, sehingga apabila ada benda menyentuhnya (biasanya sarung yang di-sawer-kan penonton) akan membuat sintren tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Tidak ada yang dapat menyembuhkannya kecuali kepulan dupa dan secarik lirik :
Godong kilaras
Ditandur ning tengah alas
Paman bibi aja maras
Dalang lais njaluk waras






Kreatifitas anak muda seperti diceritakan terdahulu itu berani juga menembus pakem. Sintren atau dalang lais awalnya saja menggunakan aturan main, seterusnya disawer puluhan sarung sekalipun akan tetap lihai memainkan goyangannya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menari di alam sadar. Berarti telah jauh melenceng dari pakem yang digariskan.
Selain sakti terhadap barang lemparan, sintren modern pun tahan sentuhan. Penonton yang bebas menari-nari bersama sintren kadang berbuat tidak senonoh menyelipkan sejumlah uang. Dalang lais bukannya pingsan tetapi malah membalas dengan senyuman.
Saat itu sintren bukan hanya sempat melebihi populeritas tarling, sandiwara dan orkes dangdut yang bayarannya mahal tetapi juga menggilas video, film atapun hiburan alakadarnya (tape). Bayaran murah-meriah, bisa ditanggap kapan saja adalah salah satu keunggulannya.
Namun siapa nyana kalau kejayaan itu merupakan akhir dari reinkarnasi sintren. Pemerintahan saat itu, dengan mengatasnamakan ketertiban umum tidak jarang mengobrak-abrik atau membatalkan pertunjukkan yang akan berlangsung. Kalau sudah begitu, dalang lais dan nayaga hanya bisa meratapi nasib sedangkan penonton adu jotos untuk menebus ketidakpuasan. Hal terakhir ini akhirnya menjadi bumerang pertunjukkan sintren itu sendiri.
Keberadaan sintren secara tragis lenyap bersama kepudaran populeritas sesaat yang dinikmati. Sintren ditelan bumi tanpa sisa yang ditinggalkan kecuali gambaran di benak anak muda bahwa sintren adalah seperti yang mereka lakukan dan sama sekali berbeda dengan dongeng kakek nenek mereka yang telah renta dimakan usia.
Sintren mati tragis karena dalam kehidupannya yang kedua tiada pernah tahu sejarahnya sendiri.
http://indramayukampunghalamantercinta.blogspot.com/2011/17/sintren-Indramayu/16.html


Selasa, 15 November 2011

Kesenian Indramayu

Indramayu – Berdasarkan hasil pendataan dan wawancara dengan beberapa tokoh seniman Indramayu, diketahui seni berokan lahir pada masa Prabu Pari Kesit menjadi Raja Amarta.
Pada saat Prabu Parikesit menjadi Raja Amarta, keadaan Negara di ambang kehancuran gangguan keamanan dan wabah penyakit terus berdatangan. Prabu Parikesit merasa kebingungan untuk mengatasinya.


Setelah beberapa lama berpikir , ahirnya Prabu Parikesit menemukan strategi untuk mengatasi hal ini. Maka dipanggilah seorang putranya dan diprintahkannya untuk membuat sebuah lukisan hutan beserta isinya, yag dipasang di perbatasan Kerajaan Amarta. Strategi ini ternyata berhasil mengelabui musuh. Maka kembali Prabu Parikesit menyuruh seorang putranya untuk membuat lukisan laut beserta isinya.
Dari hasil lukisan itu ada bentuk kapala ikan tanpa badan. Maka untuk menyempurnakanya dibuatlah barong kapala ikan, dengan dilengkapi samping dari kulit kambing dan badannya terbuat dari karung goni. Wujud baru ini diberi nama” Rongrong Barong” yang artinya rorong itu tempat ikan tinggal (ada). Akhirnya Rongrong Barong itu,difungsikan untuk pertunjukan. Pada perkembangannya Rongrong Barong itu berubah nama menjadi Berok atau Berokan.
Seniman Berokan yang masih bertahan sampai saat ini adalah Group mang Darwan Cs yang berada di Blok Pilangsari Desa Jatibarang baru Kecamatan Jatibarang Indramayu.


Menurut tuturan riwayat yang diwariskan secara turun-temurun di kalangan senimannya, bengberokan adalah warisan Pangeran Korowelang atau Pangeran Mina, seorang penguasa laut Jawa di wilayah Cirebon dan Indramayu. Namun terdapat pula tuturan yang juga diwariskan di kalangan seniman berokan, bahwa berokan merupakan kreasi Mbah Kuwu Pangeran Cakrabuana, ketika menyebarkan syiar Islam ke wilayah Galuh, sebagaimana yang dilakukan oleh para wali, menggunakan pertunjukan sebagai media syiar agama, ditujukan agar dapat mudah diterima lingkungan budaya pada saat itu.
Ada pendapat bahwa kata berokan berasal dari kata "barokahan" (keselamatan). Namun nampaknya keterangan tersebut hanya sebuah kirata (bahasa Sunda, yang artinya dikira-kira namun tampak nyata), sebuah gejala yang umum terjadi di dalam penamaan jenis seni rakyat.



Bentuk kesenian

Bentuk berokan yang dekat dengan bentuk-bentuk mitis totemistik dari binatang seperti buaya, wajah raksasa, dll., menunjukkan adaptasi budaya tersebut.
Pertunjukan berokan ini sangat populer di wilayah Cirebon dan Indramayu. Pada awalnya dilakukan sebagai bagian dari upacara ruwatan dalam menanggulangi pageblug (epidemi penyakit), menempati rumah baru, dll. Namun demikian, dewasa ini pertunjukan burokan lebih banyak dipakai dalam memeriahkan pesta khitanan atau perkawinan.
Bengberokan dimainkan juga pada upacara Ngunjung Buyut, yaitu upacara untuk menghormati arwah leluhur di pekuburan desa-desa tertentu. Bengberokan merupakan kedok yang dibuat dari kayu, yang bentuknya mirip dengan buaya. Warna kedoknya merah dengan mata besar yang menyala, dengan mulut dapat digerakkan (dibuka–tutup) sehingga menghasilkan bunyi "plak-plok". Tubuhnya terbuat dari bekas karung beras yang dijahit sedemikian rupa sehingga mampu menutupi pemainnya, dan mengesankan tubuh binatang yang besar dan berbulu (ditambahi ijuk dan serpihan tambang), kemudian disambung kayu yang dibuat mirip seperti ekor dengan warna belang-belang merah putih, runcing sehingga ujungnya mirip ekor ikan cucut. Berokan biasanya dimainkan secara bergantian.
Pada umumnya para pemain berokan adalah laki-laki. Untuk melibatkan penonton, Berokan digerak-gerakan dengan lincah, kedoknya dimainkan seakan-akan mau mengigit penonton. Efek spontanitas ketakutan penonton (terutama anak-anak) dimanfaatkan oleh pemain Berokan untuk semakin garang dan menghibur.
Pertunjukan Berokan diawali dengan tetalu dan kidung dalam bahasa ibu (Indramayu atau Cirebon), dilanjutkan dengan tarian Berokan yang lambat, perlahan-lahan untuk kemudian menjadi naik turun dan bergairah. Pertunjukan Berokan akan lebih menarik lagi, jika dimainkan di atas pecahan kaca (beling) dan menari-nari di atas bara api. Apabila pertunjukan Berokan dikaitkan dengan upacara tertentu, biasanya dilakukan Kirab Sawan, yakni upacara penyembuhan atau untuk keselamatan dan keberkahan. Kirab Sawan dilakukan setelah sesajen dan persyaratan lainnya lengkap.
Musik pengiring Berokan sangatlah sederhana, terdiri dari kendangterebangkecrek, dan bende (gong kecil) yang dimainkan oleh enam orang. Musiknya memang terasa monoton, namun demikian dinamika kadangkala muncul dari kendang dan kecrek, bersahutan dengan suara plak-plok dari kepala Berokan yang terbuka dan tertutup.

[sunting]Makna

Ada beberapa makna yang dapat disimpulkan dari pertunjukan Berokan ini:
  • Makna mitis yaitu sebagai media penolak bala yang menjadi awal mula fungsi Berokan. Dengan mempertunjukan Berokan, dipercayai bahwa bala telah ditolak, dan dipercayai akan mendatangkan kebahagiaan.
  • Makna sinkretis karena Berokan digunakan sebagai media dakwah pada masa awal penyebaran syiar Islam di wilayah Cirebon.
  • Makna teatrikal karena Berokan beraksi menari, mengejar, dan memainkan kepalanya serta berbaur dengan spontanitas penonton yang merasa takut bercampur gembira
  • Makna universal, karena Berokan memiliki kemiripan bentuk dengan Barongsay dan Chilin dari Tiongkok, mahluk-mahluk naga dari Eropa Purba.
Salah satu kelompok Berokan yang dewasa ini masih tetap berdaya, adalah kelompok Berokan yang dipimpin oleh Mama Taham dari desa Tambi Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu.